Rabu, 29 Oktober 2008

masalah sosial pornografi

Mencermati RUU Pornografi (draft)-
Seperti kita ketahui,DPR akan membicarakan kembali RUU Pornografi yang masih kontroversial. Ada harapan,RUU ini bisa disahkan menjadi UU sebelum akhirtahun. Kritik terhadap draft RUU yang beredar sudah banyak terdengar.Berikut salah satu kritik yang disampaikan (subjektif memang tapi...bisa kita komparasikan...) :
Rangkaian kekeliruan cara pandang tersebut adalah:
1. RUU Pornografi ini bertentangan dengan hak asasi manusia karena masuk keranah moral pribadi yang seharusnya tidak diintervensi negara.Argumen ini memiliki kelemahan karena isu pornografi bukanlah sekadarmasalah moral. Di berbagai belahan dunia, perang terhadap pornografidilancarkan karena masalah-masalah sosial yang ditimbulkannya. Pornografi diakui bahkan oleh masyarakat akademi sebagai hal yang berkorelasi denganberbagai masalah sosial.Kebebasan yang dinikmati para pembuat media pornografis adalah sesuatu yangbaru berlangsung sekitar 30-40 tahun terakhir. Sebelumnya untuk waktu yanglama, masyarakat demokratis di berbagai belahan dunia memandang pornografisebagai "anak haram" yang bukan hanya mengganggu etika kaum beradab tapijuga dipercaya membawa banyak masalah kemasyarakatan.Saat ini pun, industri pornografi yang tumbuh pesat dalam beberapa dekadeterakhir dipercaya mendorong perilaku seks bebas dan tidak sehat yang padagilirannya menyumbang beragam persoalan kemasyarakatan: kehamilan remaja,penyebaran penyakit menular melalui seks, kekerasan seksual, keruntuhannilai-nilai keluarga, aborsi, serta bahkan pedophilia dan pelecehanperempuan. Sebagian feminis bahkan menyebut pornogafi sebagai "kejahatanterhadap perempuan".Karena rangkaian masalah ini, plus pertimbangan agama, tak ada negara didunia ini yang membebaskan penyebaran pornografi di wilayahnya. Bentukpengaturannya memang tak harus dalam format UU Pornografi, namun dalam satudan lain cara, negara-negara paling demokratis sekali pun mengatur soalpornografi.Di sisi lain, argumen bahwa soal "moral" seharusnya tidak diatur negara jugamemiliki kelemahan mendasar. Deklarasi Universal Hak-hak Asas Manusia (ayat29), misalnya, secara tegas menyatakan bahwa pembatasan terhadap kebebasanberekspresi dapat dilakukan atas dasar, antara lain, pertimbangan moraldalam masyarakat demokratis. Hal yang sama tertuang dalam amandemen Pasal28J UUD 1945. Dengan begitu, kalaupun RUU ini menggunakan pendekatan moralpun sebenarnya tetap konstitusional.2. RUU ini memiliki agenda penegakan syariah.Tuduhan ini sulit diterima karena RUU ini jelas memberi pengakuan hukumterhadap sejumlah bentuk pornografi. RUU ini menyatakan bahwa yang dilarangsama sekali, hanyalah: adegan persenggamaan, ketelanjangan, masturbasi, alatvital dan kekerasan seksual. Pornografi yang tidak termasuk dalam limakategori itu akan diatur oleh peraturan lebih lanjut.Dengan kata lain, RUU ini sebenarnya justru mengikuti logika pengaturandistribusi pornografi yang diterapkan di banyak negara Barat. Mengingatajaran Islam menolak semua bentuk pornografi, bila memang ada agendaSyariah, RUU ini seharusnya mengharamkan semua bentuk pornografi tanpakecuali.Dengan RUU ini, justru majalah pria dewasa seperti Popular, FHM , ME ,Playboy ( Indonesia ) akan memperoleh kepastian hukum. Mereka diizinkan ada,tapi pendistribu-siannya akan diatur melalui peraturan lebih lanjut.Memang benar bahwa kelompok-kelompok yang pertama berinsiatif melahirkan RUUini, sejak 1999, adalah kelompok-kelompok Islam. Begitu juga dalamprosesnya, dukungan terhadap RUU ini di dalam maupun di luar parlemen,lazim-nya datang dari komunitas muslim. Dalam perkembangan terakhir, bahkanpembelahannya nampak jelas: Konnferensi Waligereja Indonesia dan PersatuanGereja Indonesia meminta agar RUU tidak disahkan; Majelis Ulama Indonesiamendukung RUU.Namun kalau dilihat isi RUU, agak sulit untuk menemukan nuansa syariah didalamnya. Ini yang menyebabkan Hizbut Tahrir Indonesia secara terbukamengeluarkan kritik terhadap RUU yang dianggap mereka sebagai membuka jalanbagi sebagian pornografi. Bagaimanapun, HTI juga secara terbuka menyatakandukungan atas pengesahannya dengan alasan "lebih baik tetap ada aturandaripada tidak ada sama sekali".3. RUU ini merupakan bentuk kriminalisasi perempuan.Tuduhan ini sering diulang-ulang sebagian feminis Indonesia . Tapi, sulituntuk menerima tuduhan ini mengingat justru yang berpotensi terkena ancamanpidana adalah kaum lelaki. RUU ini mengancam dengan keras mereka yangmendanai, membuat, menawarkan, menjual, menyebarkan dan memiliki pornografi.Mengingat industri pornografi adalah industri yang dibuat dan ditujukankepada (terutama) pria, yang paling terancam tentu saja adalah kaum pria.RUU ini memang juga mengancam para model yang terlibat dalam pembuatanpornografi. Namun ditambahkan di situ bahwa hanya mereka yang menjadi modeldengan kesadaran sendiri yang akan dikenakan hukuman. Dengan begitu, RUU iniakan melindungi para perempuan yang misalnya menjadi "model" porno karenaditipu, dipaksa, atau yang gambarnya diambil melalui rekaman tersembunyi(hidden camera).Para pejuang hak perempuan juga lazim berargumen bahwa RUU ini membahayakankaum perempuan karena banyak model yang terjun ke dalam bisnis pornografikarena alasan keterhimpitan ekonomi. Sayangnya, kalau dilihat muatanpornografi yang berkembang di Indonesia , argumen itu nampak tidak berdasar.Para model pornogra-fi itu tidak bisa disamakan dengan para pekerja seks komersial kelas bawah yang tertindas. Para model itu mengeruk keuntungan finansial yang besar dan sulit untuk membayangkan mereka melakukannya karenaketerhimpitan dalam struktur gender yang timpang.4. Definisi pornografi dalam RUU sangat tidak jelas.Secara ringkas, definisi pornografi di dalam RUU ini adalah: ""materiseksualitas melalui media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang dapat mem-bangkitkan hasrat seksual dan/atau melanggar nilai-nilai kesusilaandalam masyarakat".Para pengeritik RUU menganggap, definisi ini kabur karena penerapannyamelibatkan tafsiran subjektiif mengenai apa yang dimaksudkan dengan"membangkitkan hasrat seksual" dan "melanggar nilai-nilai kesusilaan dalammasyarakat". Karena kelemahan itu, para pengeritik menganggap RUU sebaiknyaditunda atau dibatalkan pengesahannya.Kritik semacam ini tidak berdasar karena definisi soal pornografi yang lazimberlaku di seluruh dunia kurang lebih seperti yang dirumuskan dalam RUUitu. Ensiklopedi Encarta 2008, misalnya menulis pornografi adalah film,majalah, tulisan, fotografi dan materi lainnya yang eksplisit secara seksualdan bertujuan untuk membangkitkan hasrat seksual. English Learner'sDictionary (1986-2008) mendefinisikan pornografi sebagai literatur, gambarfilm, dan sebagainya yang tidak sopan (indecent) secara seksual.Di banyak negara, pengaturan soal pornografi memang lazim berada dalamwilayah multi-tafsir ini. Karena itu, pembatasan tentang pornografi bisaberbeda-beda dari tahun ke tahun dan di berbagai daerah dengan budayaberbeda. Sebagai contoh, pada tahun 1960an, akan sulit ditemukan film ASyang menampilkan adegan wanita bertelanjang dada, sementara pada abad 21ini, bagian semacam itu lazim tersaji di filmfilm yang diperuntukkan padapenonton 17 tahun ke atas. Itu terjadi karena batasan "tidak pantas" memangterus berubah.Soal ketidakpastian definisi ini juga sebenarnya lazim ditemukan di berbagaiUU lain. Dalam KUHP saja misalnya, definisi tegas "mencemarkan nama baik"atau "melanggar kesusilaan" tidak ditemukan. Yang menentukan, pada akhirnya,adalah sidang pengadilan. Ini lazim berlaku dalam hukum mengingat adakepercayaan pada kemampuan akal sehat manusia untuk mendefinisikannya sesuaidengan konteks ruang dan waktu.5. RUU ini mengancam kebhinekaanCara pandang keliru ini nampaknya bisa terjadi karena salah baca. Dalamdraft RUU yang dikeluarkan pada 2006, memang ada pasal-pasal yang dapatditafsirkan sebagai tidak menghargai keberagaman budaya. Misalnya saja,aturan yang memerintahkan masyarakat untuk tidak mengenakan pakaian yangmemperlihatkan bagian tubuh yang sensual seperti payudara, paha, pusar, baiksecara keseluruhan ataupun sebagian.Ini memang bermasalah karena itu mengkriminalkan berbagai cara berpakaianyang lazim di berbagai daerah. Tak usah di wilayah yang dihuni masyarakatnon-muslim; di wilayah mayoritas muslim pun, seperti Jawa Barat, kebayadengan dada rendah adalah lazim. Hanya saja, pasal-pasal itu seharusnyasudah tidak lagi menjadi masalah karena sudah dicoret dari RUU yang baru.Begitu juga dengan kesenian tradisional yang lazim menampilkan gerak tubuhyang sensual, seperti jaipongan. Dalam RUU yang baru, tak ada satupun pasalyang menyebabkan kesenian semacam itu akan dilarang. RUU ini bahkanmenambahkan klausul yang menyatakan bahwa pelarangan terhadap pornografikelas berat (misalnya mengandung ketelanjangan) akan dianulir kalau itumemiliki nilai seni-budaya.6. RUU ini akan mengatur cara berpakaian.Sebagian pengeritik menakut-nakuti masyarakat bahwa bila RUU ini disahkan,perempuan tak boleh lagi mengenakan rok mini atau celana pendek di luarrumah. Ini peringatan yang menyesatkan. Tak satupun ada pasal dalam RUU iniyang berbicara soal cara berpakaian masyarakat dalam kehidupan sehari-hari.7.RUU ini berpotensi mendorong lahirnya aksi-aksi anarkis masyarakat.Para pengecam menuduh bahwa RUU ini akan membuka peluang bagi tindakanarkisme masyarakat, mengingat adanya pasal 21 yang berbunyi: "Masyarakatdapat berperan serta dalam melakukan pencegahan terhadap pembuatan,penyebarluasan, dan penggunaan pornografi."Tuduhan ini agak mencari-cari, karena dalam pasal berikutnya, RUU menyatakanbahwa "peran serta" masyarakat itu hanya terbatas pada: melaporkanpelanggaran UU, menggugat ke pengadilan, melakukan sosialisasi peraturan,dan melakukan pembinaan terhadap masyarakat.Dengan kata lain, justru RUU ini memberi batasan yang tegas terhadapkelompok-kelompok yang senang main hakim sendiri bahwa dalam alamdemokratis, peran serta itu tak boleh ditafsirkan semena-mena.8. RUU ini tidak perlu karena sudah ada perangkat hukum yang lain untukmengerem pornografi.Para pengeritik lazim menganggap RUU ini sebagai tak diperlukan karena sudahada KUHP yang bila ditegakkan akan bisa digunakan untuk mengatur pornografi.Argumen ini lemah karena sejumlah hal. Pertama, KUHP melarang penyebaranhal-hal yang melanggar kesusilaan yang definisinya jauh lebih luas daripadapornografi. KUHP pun menyamaratakan semua bentuk pornografi. Selama sesuatudianggap "melanggar kesusilaan", benda itu menjadi barang haram yang harusdienyahkan dari Indonesia . Dengan demikian, KUHP justru tidak membedakanantara sebuah novel yang di dalamnya mengandung muatan seks beberapa halamandengan film porno yang selama dua jam menghadirkan adegan seks. Dua-duanyadianggap melanggar KUHP.RUU ini, sebaliknya, membedakan kedua ragam pornografi itu. Media yangmenyajikan adegan pornografis kelas berat memang dilarang, tapi yangmenyajikan muatan pornografis ringan akan diatur pendistribusiannya.Lebih jauh lagi, sebagai produk di masa awal kemerdekaan, KUHP memang nampakketinggalan jaman. Terhadap mereka yang membuat dan menyebarkan hal-hal yangmelanggar kesusilaan, KUHP hanya memberi ancaman pidana penjara maksimal 18bulan dan denda maksimal empat ribu lima ratus rupiah! KUHP juga tidakmembedakan perlakuan terhadap pornografi biasa dan pornografi anak.9. RUU Pornografi tidak perlu, yang diperlukan adalah mendidik masyarakat.Para pengecam menganggap bahwa sebuah pornografi tidak diperlukan karenauntuk mencegah efek negatif pornografi yang lebih penting adalah memperkuatkemampuan masyarakat untuk menolak dan menseleksi sendiri pornografi. Jadiyang diperlukan adalah pendidikan melek media dan bukan Undang-undang.Argumen ini lemah karena bahkan para pendukung mekanisme pasar bebas pun,lazim mempercayai arti penting aturan. Bila pornografi memang dipercayamengandung muatan yang negatif (misalnya mendorong perilaku seks bebas,melecehkan perempuan, mendorong kekerasan seks, dan sebagainya), maka negaralazim diberi kewenangan untuk melindungi masyarakat dengan antara lainmengeluarkan peraturan perundangan yang ketat.Di Amerika Serikat, sebagai contoh sebuah negara yang demokratis, terdapataturan yang ketat terhadap pornografi yang dianggap masuk dalam kategoricabul (obscene). Di sana pun, masyarakat tak diberi kewenangan untukmenentukan sendiri apakah mereka mau atau tidak mau menonton film cabul,karena begitu sebuah materi pornografis dianggap 'cabul', itu akan langsungdianggap melanggar hukum.Pendidikan untuk meningkatkan daya kritis masyarakat tetap penting. Namunmembayangkan itu akan cukup untuk mencegah efek negatif pornografi,sementara gencaran rangsangan pornografi berlangsung secara bebas di tengahmasyarakat, mugnkin adalah harapan berlebihan.10. RUU ini mengancam para seniman.Tuduhan bahwa RUU ini akan mengekang kebebasan para seniman jugamencerminkan kemiskinan informasi para pengecam tersebut. RUU ini justrumemberi penghormatan khusus pada wilayah kesenian dan kebudayaan, denganmemasukkan pasal yang menyatakan bahwa pasal-pasal pelarangan pornografiakan dikecualikan pada karya-karya yang diangap memiliki nilai seni dan budaya.

(Sumber:milis penulis lepas)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Posting ur comment yach:)