Rabu, 18 Maret 2009

PEMILU 2009

Dalam upaya mengatur jalannya pemilu, pemerintah telah membentuk KPU yang memiliki kewenangan untuk mengatur tata cara pemilihan Umum di Indonesia. Dari tahun ke tahun Peraturan tersebut makin disempurnakan, agar lebih dapat memenuhi tuntutan perubahan dan perkembangan zaman. Salah satu tuntutan perubahan yang paling mendasar dari peraturan tersebut adalah digulirkannya kuota 30 % bagi keterwakilan perempuan di parlemen. Tuntutan tersebut tidak hanya bersifat lokal ataupun nasional, tetapi juga bersifat global, artinya di berbagai negara-negara di dunia memiliki tuntutan serupa, bahwa perlu adanya affirmatif action agar perempuan memiliki wakilnya di parlemen, untuk mendorong lahirnya UU atau peraturan yang lebih bersifat adil gender. Selama ini peraturan yang ada dinilai masih sangat bias gender, karena adanya perspektif yang dipakai di dalam membuat aturan lebih bernuansa maskulin. Nuansa maskulinitas tersebut karena sebagian terbesar pembuat aturan hanyalah laki-laki, sehingga berbagai aturan yang dipikirkannya tidak mengakomodasi isu-isu dan kepentingan perempuan, baik secara umum maupun secara spesifik, baik secara strategis maupun secara praksis, padahal jumlah penduduk perempuan lebih tinggi dari penduduk laki-laki, atau dengan kata lain jumlah pemilih perempuan lebih besar dari jumlah pemilih laki-laki. Oleh karena itu, diperlukan adanya keterwakilan perempuan agar perempuan dapat berpartisipasi dalam perumusan kebijakan publik, sehingga isu-isu tentang perempuan dapat diakomodasikan di dalam aturan-aturan tersebut agar tidak terjadi adanya diskriminasi. Banyak tantangan yang harus dihadapi untuk mendorong masuknya perempuan ke parlemen.Tantangan tersebut tidak hanya datang dari kekuatan di luar diri perempuan (eksternal), tetapi juga bersifat internal, yaitu dari dalam diri perempuan sendiri. Di samping itu tantangan juga bersifat struktural maupun kultural, sehingga perlu adanya affirmatif action untuk mengejar ketertinggalan langkah perempuan yang sudah terlalu jauh. Tuntutan tersebut seharusnya dimaknai sebagai sesuatu yang wajar, karena selama ini perempuan tidak memiliki hak yang sama untuk memilih dan dipilih. Selama ini perempuan hanya diposisikan sebagai 'mesin pencetak suara' bagi keberhasilan dan kemenangan laki-laki dalam pemilu, namun kepentingan perempuan terlepas dari pengamatan dan pemikiran laki-laki. Oleh karena itu, menjelang pelaksanaan pemilu tahun 2009 nanti KPU diwajibkan untuk membuat peraturan agar semua partai politik peserta pemilu harus memasukkan perempuan untuk duduk di parlemen. Selama ini wakil perempuan sebagai calon legislatif hanya sebagai pemanis belaka, karena ditempatkan di urutan belakang, yang kemungkinan untuk dapat duduk di kursi parlemen sangatlah kecil. Oleh karena itu, KPU membuat peraturan yang disebut sebagai sistem zipper agar setiap 3 orang caleg harus ada satu orang perempuan. Minimnya keterwakilan perempuan hasil pemilu 2004 dimana hanya 11 % perempuan dapat masuk DPR pusat, 9 % masuk ke DPR Propinsi dan hanya 6 % perempuan yang dapat menjadi anggota parlemen kabupaten/kota. Angka-angka tersebut terasa sangat ironis jika dibandingkan dengan jumlah pemilih sebagian besar adalah perempuan.Tentu hal ini perlu disikapi oleh parpol maupun para caleg khususnya caleg perempuan. Menjadi tantangan sendiri bagi caleg perempuan untuk menunjukkan kapasitasnya di parlemen sebagai 'wakil rakyat' tentu secara tidak langsung menjadi representator aspirasi kaum perempuan.


 

Yang jelas..peran pemilih menentukan...jadi ayo gunakan hak pilih dengan cerdas dan kritis...karena sekali nyontreng..menentukan masa depan 5 tahun ke depan...sukses...;)


 


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Posting ur comment yach:)