Sabtu, 21 Agustus 2010

contoh makalah kajian budaya






Kajian budaya atau cultural studies semakin menarik diperbincangkan di era modern seperti sekarang ini. Beragam fenomena yang muncul menjadikan sebaran ide untuk sebuah karya sarat pilihan. Berikut ini salah satu dari sekian banyak kajian yang coba penulis bingkai dengan cermatan ide kajian media yaitu tentang iklan.

EKSPRESI IDENTITAS DALAM KONSUMSI BUSANA MUSLIM


Konsumsi busana muslim menunjukkan pembedaan sosial dari seseorang di masyarakat. Sebelumya, bila melihat lebih jauh tentang makna busana, Idi Subandi dalam Barnard (2009) menyatakan bahwa salah satu dari seluruh rentang penandaan yang paling jelas dari penampilan luar yang dengannya orang menempatkan diri mereka terpisah dari yang lain dan selanjutnya diidentifikasi suatu kelompok tertentu. Hal ini juga yang ditunjukkan oleh busana muslim yang dapat memiliki makna tertentu untuk mengungkapkan penentangan terhadap rezim tertentu atau mencerminkan keanggotaan dalam gerakan Islam. Pandangan lain yang bernada kritis yaitu Fatima Mernissi menganggap bahwa busana muslim yang hidup di dunia Islam dianggap sebagai kontrol ideologi patriarki dimana bila ada wanita yang mencoba atau menginginkan menanggalkan cadarnya sebagian kaum laki-laki selalu mengangkat agama sebagai alat pembenarnya.

Pendapat ini bila dikontekskan dengan Indonesia tentu tidak lepas dari sejarah panjang pemberlakuan jilbab sebagai bagian dari busana muslimah untuk dikenakan di muka publik. Awal tahun 1990-an menurut Idi Subandy (2009) menjadi titik tolak jilbabisasi di Indonesia yang mulai merambah ke kalangan kelas menengah atas yang kemudian menjadikan busana muslimah menjadi trendi dan memakai jilbab mulai mencapai prestise tertentu yang mengkomunikasikan hasrat menjadi orang saleh dan sekaligus menjadi muslim modern. Pernyataan terakhir inilah yang menunjukkan adanya identifikasi seseorang (representasi) atas busana muslim untuk membedakan identitas dan kualitas seseorang.

Dari penjelasan di atas menunjukkan bahwa popularisasi busana Muslim dipengaruhi oleh keadaan politik, sosial, dan ekonomi. Penjelasan lainnya dalam artikel Sian Powell (2003), dia menulis bahwa karena proses popularisasi busana muslim dan proses westernisasi terjadi bersama-sama di Indonesia, maka mode menjadi unsur berpakaian yang sangat penting, dan pada saat ini kalau berjilbab dianggap sebagai orang yang bermode. Oleh karena itu, ada banyak perempuan di Indonesia yang baru berjilbab. Selanjutnya Sian Powell menjelaskan bahwa jilbab bukan lagi sebagai lambang ibadah, tetapi lambang orang yang bermode saja. Maksudnya, kalau berjilbab, menjadi orang yang berpakaian sesuai dengan mode terakhir. Jilbab tidak punya hubungan dengan ketaatan beragama lagi, karena siapa saja bisa berjilbab dan sebagian besar lebih khawatir bagaimana penampilannya kalau berjilbab daripada nilai ketaatan agamanya. Dari artikel tersebut mencerminkan pendapat yang biasa terhadap kebudayaan populer yaitu bahwa kalau ada sesuatu (dalam hal ini, busana Muslim) yang populer dimana makna/arti agama sudah hilang atau lebih dikenal dengan istilah Ideologi Kebudayaan Massa atau (The Ideology of Mass Culture).

Lebih lanjut proses konsumsi busana muslim sebagai sebuah tren atau mode ini pernah dilakukan studi oleh Barthes (dalam Faruk,2010) yang membedakan mode pakaian/busana dalam tiga sistem yaitu mode pakaian yang digunakan atau pakaian yang nyata, mode pakaian yang direpresentasikan secara visual atau dicitrakan, dan mode pakaian yang direpresentasikan secara verbal atau dituliskan. Ketiga sistem mode pakaian itu, menurutnya, berbeda baik dalam hal substansinya maupun relasi-relasinya. Substansi sistem yang pertama adalah tindakan, yang kedua bentuk, yang ketiga kata-kata. Struktur mode pakaian yang digunakan bersifat teknologis dengan satuan-satuan yang berupa jejak-jejak tindakan pembuatannya, tujuan-tujuan yang dimaterialisasikan dan dipenuhi, seperti penjahitan, pemotongan, dan sebagainya. Pola hubungan dalam sistem pakaian yang dicitrakan bersifat spasial, sedangkan dalam sistem pakaian yang dikatakan bersifat logis atau sekurangnya sintaktik. Sistem pakaian kedua terkait dengan fotografi, sedangkan yang ketiga dengan bahasa walaupun tidak sepenuhnya patuh dengan kaidah bahasa itu. Dua sistem yang kedua cenderung selalu mengacu kepada yang pertama. Adapun hubungannya dengan yang pertama itu adalah hubungan transformasi atau translasi. Pendapat ini bila dikontekskan dengan iklan busana muslim yang memberikan pilihan mode jelas memberi implikasi pada pembentukan identitas dan pengkategorian secara sosial tercermin dari busana yang dikenakan oleh seseorang.
Secara khusus penjelasan mengenai identitas ini dijelaskan oleh Barker (2009:173-174) yaitu konsep identitas terkait erat dengan konsep subjektivitas. Subjektifitas lebih mengacu pada kondisi menjadi seorang pribadi dan proses di mana kita menjadi seorang pribadi atau bagaimana kita dibentuk sebagai subjek. Meski kemudian ia membedakan identitas diri merupakan konsepsi yang diyakini seseorang tentang diri sendiri sementara itu harapan dan pendapat orang lain membentuk identitas sosial. Penjelasan lainnya bahwa identitas diekspresikan melalui berbagai bentuk representasi yang dapat dikenali oleh orang lain dan diri sendiri. Dengan kata lain identitas terkait dengan kesamaan dan perbedaan, dengan aspek personal dan sosial dan dengan bentuk-bentuk representasi. Bila pendapat ini dilihat dari aspek penggunaan atau konsumsi busana muslim menunjukkan adanya keterkaitan antara pembentukan identitas yang merepresentasikan peran atau posisi sosial seseorang.

2 komentar:

  1. Pembahasan yang sangat bagus sekali :)
    Saya ingin menanyakan tentang pola perubahan yang terjadi pada sistem populerisasi budayanya.

    Dalam suatu permasalahan yang pernah aku bahas, mengenai kajian budaya, saya banyak menemukan bahwa yang pertama kali menggaungkan itu budaya adalah kalangan atas -dari sistem penguasa- sedangkan dari pemaparan ini saya membaca bahwa penyebarannya bermula dari kelas menengah lalu ke kelas atas -dan mungkin disinilah substansi hilang-.

    Mengenai substansi ini, didalam diskursus postmodernisme yang lahir kepada permukaan ini kebanyakan adalah permukaannya saja? Apakah anda setuju? Contohnya pembahasan yang penulis paparkan diatas -yang pada akhirnya akan membawa identitas busana muslim itu hanya sebagai mode dizaman modern ini-

    Sama halnya dengan kejadian didaerah sunda. Ketika Iket -iket rambut dizaman sunda dahulu- menjadi sebuah ikon dari musik metal, sontak iket menjadi sebuah kebudayaan yang lahir kembali. Namun lahirnya itu bukan sebagai sebuah arti yang dahulu tapi sebaliknya iket muncul hanya secara permukaannya saja.

    Para pengikut metal mengartikan iket sebatas disangkutpautkan dengan metal. Arti substantifnya hilang.

    Bagaimana menurut penulis?

    BalasHapus

Posting ur comment yach:)